Transparent Chrome Glass Blue Pointer

Minggu, 12 Juni 2016

Artikel

Menulis Diary Sebagai Salah Satu Cara Meningkatan Efikasi Diri Siswa

Siti Nurlaila, M.Psi.
Jurusan Bimbingan dan Konseling
Universitas Muhammadiyah Metro
Email: laila_mpsi@yahoo.com; Phone: 0823 7848 0000

Abstract
This study aims to find out how to writting therapy can improve student’s self-efficacy. The method used is the the study of literature. Qualified human resources is one of the important capital for the development of a nation. A nation that has a human resources of high quality will be more advanced and able to compete with other countries. Adolescents as well as students who are the most important capital for the sustainability of a country. The ability of adolescents to complete tasks both at school and at home is not only influenced by cognitive potential possesed by teens, but is also influenced by the edolescent belief in completing the tasks entrusted. Confidence in the ability of a person is called self-efficacy. A person with self-efficacy believe that they can do something to change the events surrounding, while a person with low self-efficacy conciders himself incapable of doing everything around him. In the difficult situation of people with low self-efficacy tend to give up easily. While those with high self-efficacy will try harder to overcome existing challanges. Feeling of self-efficacy can be developed among others by writing a diary therapy.
When we write a diary indirectly also we write the perceived mood. Mood effects the assessment of self-efficacy. Increasing positive feelings will increase self-efficacy, however the atmosphere of sadness may reduce the efficacy of self (Kavanag & bower in bandura, 2009:4). While other less pleasent experience or depressing would reduce self-efficacy. For today’s modern era to write a diary is not only done in the diary alone butcan use the facilities such as gedget, ipad, tablet or other social media.  
Key words: Self eficacy, writting diary

Abstrak
            Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana terapi menulis dapat meningkatkan efikasi diri siswa. Metode yang digunakan  adalah dengan studi kepustakaan. Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan satu modal penting untuk pembangunan suatu bangsa. Bangsa yang memiliki sumber daya manusia yang bermutu tinggi akan lebih maju dan mampu bersaing dengan negara lainnya. Remaja yang juga sebagai siswa sekolah adalah modal yang paling utama bagi keberlangsungan suatu negara. Kemampuan remaja dalam menyelesaikan tugas-tugasnya baik di sekolah maupun di rumah tidak hanya dipengaruhi oleh potensi kognitif yang dimiliki oleh remaja itu sendiri tetapi juga dipengaruhi oleh keyakinan remaja tersebut dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diembannya. Keyakinan terhadap kemampuan yang dimiliki seseorang inilah yang disebut efikasi diri. Seseorang dengan efikasi diri percaya bahwa mereka mampu melakukan sesuatu untuk mengubah kejadian-kejadian di sekitarnya, sedangkan seseorang dengan efikasi diri rendah menganggap dirinya tidak mampu mengerjakan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Dalam situasi yang sulit, orang dengan efikasi yang rendah cenderung mudah menyerah. Sementara dengan orang dengan efikasi diri yang tinggi akan berusaha lebih keras untuk mengatasi tantangan yang ada.  Perasaan efikasi diri dapat dikembangkan diantaranya dengan terapi menulis diary.
            Ketika kita menulis diary secara tidak langsung juga kita menuliskan suasana hati yang dirasakan. Suasana hati mempengaruhi penilaian tentang efikasi diri. Meningkatnya perasaan positif akan meningkatkan efikasi diri, namun demikian suasana kesedihan juga dapat mengurangi efikasi diri Dalam hal ini suasana atau perasaan positif akan  meningkatkan efikasi diri seseorang sedangkan pengalaman yang kurang menyenangkan atau menyedihkan akan mengurangi efikasi diri. Untuk era modern saat ini menulis diary tidak hanya dilakukan di buku harian saja namun dapat meggunakan fasilitas seperti  gedget, tablet, ipad ataupun media sosial lainnya.
           
Kata kunci: Menulis diary, efikasi diri
































PENDAHULUAN
Banyak yang mengatakan masa muda merupakan masa remaja yang indah. Masa dimana penuh keceriaan dan kegembiraaan bersama teman-temannya baik di sekolah maupun di lingkungan pergaulan yang lain. Remaja juga penerus suatu bangsa. Nasib suatu bangsa kelak akan ditentukan oleh bagaimana remajanya masa kini. Saat ini muncul gejala di berbagai negara berkembang bahwa remaja kurang mempunyai kebutuhan untuk berprestasi dan bertanggung jawab yang menyebabkan lambatnya pembangunan di negara tersebut. Bila gejala ini tidak di atasi maka lambat laun pembangunan di negara tersebut dapat berpengaruh.
Kemampuan remaja dalam menyelesaikan tugas-tugasnya baik di sekolah maupun di rumah tidak hanya dipengaruhi oleh potensi kognitif yang dimiliki oleh remaja itu sendiri tetapi juga dipengaruhi oleh keyakinan remaja tersebut dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diembannya. Keyakinan remaja tentang kemampuan dirinya dalam menyelesaikan tugas dapat meningkatkan usaha untuk dapat mencapai tujuannya, namun hal ini dapat pula menjadi penghambat usaha remaja dalam menggapai impiannya. Menurut Widanarti dan Indati (2002:113) adanya perasaan “saya tidak dapat” dan “saya tidak mampu”, merupakan alasan-alasan yang dapat menghambat seseorang dalam mencapai sasaran. Kayana (Widarti dan Indati, 2002:113) mengatakan seseorang yang berfikir tentang dirinya, itulah dirinya. Artinya anggapan-anggapan tentang diri dapat melipatgandakan atau justru hanya dapat meruntuhkan potensi seseorang.
Menurut Bandura efikasi diri menghasilkan perbedaan dalam cara berpikir, merasakan dan bertindak. Keyakinan efikasi diri berpengaruh terhadap pilihan yang dibuat dan tindakan yang dicapai oleh individu. Keyakinan pada efikasi turut menentukan seberapa besar usaha yang dilakukan individu, serta berapa lama kemampuan untuk bertahan dalam menghadapi situasi yang kurang menguntungkan (Schunk, Henson & Cox, 1987). Efikasi diri mengacu pada keyakinan akan kemampuan diri untuk menggerakkan motivasi, kemampuan kognitif serta tindakan yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan situasi (Bandura, 1997). Riset yang dilakukan pada bidang pendidikan mengindikasikan bahwa efikasi diri berperan pada pencapaian nilai akademik yang menujukkan korelasi positif dengan pencapaian prestasi (Bandura, 1986; Pajares, 1996 dalam Marat, 2003). Hal ini diperkuat dengan pendapat yang mengatakan bahwa efikasi diri berkaitan dengan pencapaian prestasi yang lebih tinggi. Sesorang yang memilki efikasi diri tinggi berani menghadapi tugas atau tantangan yang baru, namun yang memilki efikasi rendah akan mengabaikan pengalaman-pengalaman baru tersebut (Schwarzer, 1997).
Karakteristik individu yang memiliki Efikasi Diri yang tinggi adalah  ketika individu tersebut merasa yakin bahwa mereka mampu menangani sesecara  efektif peristiwa dan situasi yang  mereka hadapi, tekun dalam menyelesaikan tugas-tugas,  percaya pada kemampuan diri yang mereka miliki, memandang kesulitan sebagai tantangan bukan ancaman dan suka mencari situasi baru, menetapkan sendiri tujuan yang menantang dan meningkatkan komitmen yang kuat terhadap dirinya, menanamkan usaha yang  kuat dalam apa yang dilakuakanya dan meningkatkan usaha saat menghadapi kegagalan, berfokus pada tugas dan memikirkan strategi dalam menghadapi kesulitan, cepat memulihkan rasa mampu setelah  mengalami kegagalan, dan menghadapi stressor atau ancaman dengan keyakinan bahwa mereka mampu mengontrolnya (Bandura, 1997: 211).
Sedangkan karakteristik individu yang memiliki  Efikasi Diri yang rendah adalah individu yang merasa tidak berdaya, cepat sedih, apatis, cemas, menjauhkan diri dari tugas-tugas yang sulit, cepat menyerah saat menghadapi rintangan, aspirasi yang rendah dan komitmen yang lemah terhadap tujuan yang ingin di capai, dalam situasi sulit cenderung akan memikirkan kekurangan mereka, beratnya tugas tersebut, dan konsekuensi dari kegagalanya, serta lambat untuk memulihkan kembali perasaan mampu setelah mengalami kegagalan (Bandura, 1997: 212).
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami efikasi diri dapat berupa efikasi diri yang tinggi dan efikasi diri yang rendah. Efikasi diri yang rendah jika dibiarkan terus berlanjut akan berdampak buruk bagi remaja. Mengingat banyaknya peristiwa dan situasi yang akan mereka hadapi dalam keseharian yang membutuhkan efikasi diri yang tinggi untuk mencapai perkembangan yang lebih baik, perlu adanya cara untuk meningkatkan efikasi diri yang rendah. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efikasi diri yang rendah. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efikasi diri yang rendah adalah dengan menggunakan media menulis diary.
Dewasa ini menulis diary telah menjadi kajian yang menarik. Menurut Poerwadarminta (1976), menulis adalah suatu aktivitas melahirkan pikiran dan perasaan dengan tulisan. Menulis berbeda dengan berbicara. Menulis memiliki suatu kekuatan tersendiri karena menulis adalah suatu bentuk eksplorasi dan ekspresi area pemikiran, emosi dan spiritual yang dapat dijadikan sebagai suatu sarana untuk berkomunikasi dengan diri sendiri dan mengembangkan suatu pemikiran serta kesadaran akan suatu peristiwa (Bolton, 2004). Beberapa pendapat mengatakan menulis diary adalah bagian dari terapi menulis. Pusat dari terapi menulis lebih pada proses selama menulis daripada hasil dari menulis itu sendiri sehingga penting bahwa menulis adalah suatu aktivitas yang personal, bebas kritik, dan bebas dari aturan bahasa seperti tata bahasa, sintaksis, dan bentuk (Bolton, 2004). Oleh karena itu, menulis dapat disebut sebagai bentuk terapi yang menggunakan teknik sederhana, murah, dan tidak membutuhkan umpan balik (Pennebaker,1997; Pennebaker & Chung, 2007). Dalam seting klinis, terapi menulis terhadap pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan kejadian-kejadian yang menekan atau bersifat traumatik (Pennebaker, 1997; Pennebaker & Chung, 2007).
Hasil penelitian Susilowati (2011) menyebutkan bahwa terapi menulis pengalaman emosional dapat menurunkan depresi pada mahasiswa tahun pertama.Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Lapore (2002) menggunakan terapi menulis ekspresif atau pengalam emosional dapat menurunkan simtom-simtom depresi pada mahasiswa sebelum menghadapi ujian. Berangkat dari permasalahan diatas, penulis tertarik untuk mengkaji Menulis Diary sebagai Salah Satu Cara Meningkatkan Efikasi Diri.

METODE
            Metode penelitian dengan desain kualitatif. Pengumpulan data dalam penelitian ilmiah adalah prosedur yang sistematis untuk memperoleh data yang diperlukan. Dalam penelitian kualitatif ini teknik pengumpulan data  dilakukan melalui Studi Kepustakaan ( Library Research ). Dalam penelitian ini studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca dan mempelajari sejumlah buku, literatur, jurnal ilmiah, website internet untuk mendapatkan kerangka teori yang menjadi landasan dalam penelitian ini. Selain itu peneliti juga mempelajari ketentuan terapi menulis yang berkaitan dengan menulis diary terkait dengan objek penelitian untuk memahami konteks permasalahan secara mendalam. Deskripsi dari teori ini dijelaskan sebagai berikut:
1.    Pengertian Efikasi diri
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kata efficacy diartikan sebagai kemujaraban atau kemanjuran. Maka secara harfiah Self Efficacy dapat diartikan sebagai kemujaraban diri. Bandura dan Wood (1989: 806, dalam Mustaqim, 2008:21) menyatakan self eficacy adalah keyakinan terhadap kemampuan seseorang untuk menggerakkan motivasi, sumber-sumber kognitif, dan serangkaian tindakan yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dari situasi yang dihadapi. Secara kontekstual Bandura (1994:71 dalam Mustaqim, 2008:21) memberikan definisi self efficacy sebagai keyakinan seseorang mengenai kemampuan yang dimilikinya untuk menghasilkan tingkatan performa yang telah terencana, dimana kemampuan tersebut dilatih, digerakkan oleh kejadian-kejadian yang berpengaruh dalam hidup seseorang. Definisi self efficacy terus berkembang. Bandura (1997: 3 dalam Mustaqim, 2011:21) mengartikan self efficacy sebagai keyakinan akan kemampuan individu untuk dapat mengorganisasi dan melaksanakan serangkaian tindakan yang dianggap perlu untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan.
Menurut Alwisol (2004:344) efikasi adalah persepsi mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu. Efikasi diri berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan tindakan yang diharapkan. Efikasi adalah penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan bisa atau tidak bisa mengerjakan sesuai dengan yang dipersyaratkan. Efikasi ini berbeda dengan aspirasi (cita-cita), karena cita-cita menggambarkan sesuatu yang ideal yang seharusnya (dapat dicapai), sedang efikasi menggambarkan penilaian kemampuan diri. Perubahan tingkah laku dalam, sistem Bandura kuncinya adalah perubahan ekspektasi efikasi (efikasi diri).


2.    Cara Meningkatkan Efikasi Diri

Efikasi diri atau keyakinan kebiasaan diri itu dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan atau diturunkan  melalui salah satu atau kombinasi empat sumber, yakni pengalaman menguasai sesuatu prestasi (performance accomplishment), pengalaman vikarius (vicarious experience), persuasi sosial (social persuation), dan pembangkitan emosi (emotional/physiological states).
a.    Pengalaman Performansi
Pengalaman performansi adalah prestasi yang pernah dicapai pada masa yang telah lalu. Sebagai sumber performansi masa lalu menjadi pengubah efikasi diri yang paling kuat pengaruhnya. Prestasi (masa lalu) yang bagus meningkatkan ekspektasi efikasi, sedang kegagalan akan menurunkan efikasi. Mencapai keberhasilan akan memberi dampak efikasi yang berbeda-beda, tergantung proses pencapaiannya :
1)      Semakin sulit tugasnya, keberhasilan akan membuat efikasi semakin tinggi.
2)      Kerja sendiri, lebih meningkatkan efikasi dibanding kerja kelompok, dibantu orang lain.
3)      Kegagalan menurunkan efikasi, kalau orang merasa sudah berusaha sebaik mungkin.
4)      Kegagalan dalam suasana emosional atau stres, dampaknya tidak seburuk kalau kondisinya optimal.
5)      Kegagalan sesudah orang memiliki keyakinan efikasi yang kuat, dampaknya tidak seburuk kalau kegagalan itu terjadi pada orang yang keyakinan efikasinya belum kuat.
6)      Orang yang biasa berhasil, sesekali gagal tidak memengaruhi efikasi.
Menurut Bandura (2002; 79-113) Mastery Exprience merupakan salah satu sumber penting yang digunakan individu dalam membentuk efikasi diri. Pengalaman menyesuaikan masalah adalah sumber yang paling penting mempengaruhi efikasi diri seseorang, karena mastery exprience memberikan bukti yang paling akurat dari tindakan apa saja yang diambil untuk meraih suatu keberhasilan atau kesuksesan, dan keberhasilan tersebut dibangun dari kepercayaan yang kuat didalam keyakinan individu. Sumber yang berpengaruh dari efikasi diri adalah pengalaman menguasai sesuatu yaitu performa masa lalu. Secara umum, performa yang berhasil akan meningkatkan ekspektasi mengenai kemampuan, kegagalan akan menurunkan hal tersebut. Kegagalan sebelum mengukuhkan rasa menguasai sesuatu akan lebih berpengaruh buruk pada rasa efikasi diri daripada kegagalan setelahnya.
b.      Pengalaman Vikarius
Diperoleh melalui model sosial. Efikasi akan meningkat ketika mengamati keberhasilan orang lain, sebaliknya efikasi akan menurun jika mengamati orang yang kemampuannya kurang lebih sama dengan dirinya dan ternyata gagal. Jika figur yang diamati berbeda dengan diri si pengamat, pengaruh vikarius tidak besar. Pengamatan terhadap keberhasilan orang lain dengan kemampuan yang sebanding dalam mengerjakan suatu tugas akan meningkatkan efikasi diri seeorang dalam mengerjakan tugas yang sama. Begitu pula sebaliknya, pengamatan terhadap kegagalan orang lain akan menurunkan penilaian seseorang mengenai kemampuannya dan individu akan mengurangi usaha yang akan dilakukan.
c.       Persuasi Sosial
Efikasi diri juga dapat diperoleh, diperkuat atau dilemahkan melalui persuasi sosial. Dampak dari sumber ini terbatas, tetapi pada kondisi yang tepat persuasi dari orang lain dapat memengaruhi efikasi diri. Kondisi itu adalah rasa percaya kepada pemberi persuasi, dan sifat realistik dari apa yang dipersuasikan.
Ini merupakan cara ketiga untuk meningkatkan kepercayaan seseorang mengenai hal hal yang dimilikinya untuk berusaha lebih gigih dalam mencapai tujuan dan keberhasilan atau kesuksesan. Persuasi sosial mempunyai pengaruh yang kuat pada peningkatan efikasi diri individu dan menunjukan perilaku yag digunakan secara efektif. Seseorang mendapat bujukan atau sugesti untuk percaya bahwa dirinya mampu mengatasi masalah masalah yang akan dihadapinya. Seseorang yang dikenai persuasi Sosial bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk menyelesaikan tugas yang telah diberikan, maka orang tersebut akan menggerakan usaha yang lebih besar dan akan meneruskan penyelesaian tugas tersebut.
d.      Keadaan Emosi
Keadaan emosi yang mengikuti suatu kegiatan akan mempengaruhi efikasi di bidang kegiatan itu. Emosi yang kuat, takut, cemas, stress, dapat mengurangi efikasi diri. Namun, bisa terjadi, peningkatan emosi (yang tidak berlebihan) dapat meningkatkan efikasi diri.
Situasi yang menekan kondisi emosional dapat mempengaruhi efikasi diri. Gejolak emosi, goncangan, kegelisahan yang mendalam dan keadaan fisiologis yang lemah yang dialami individu akan dirasakan sebagai isyarat akan terjadi peristiwa yang tidak diinginkan, maka situasi yang menekan dan mengancam akan cenderung dihindari. Individu mengartikan reaksi cemas, takut, stress dan ketegangan sebagai sifat yang menunjukan bahwa performansi dirinya menurun. Penilaian seseorang terhadap terhadap efikasi diri dipengaruhi oleh suasana hati. Suasana hati yang positif akan meningkatkan efikasi diri sedangkan suasana hati yang buruk akan melemahkan efikasi diri.
Sumber efikasi diri yang diperoleh dari kondisi psikologis berkaitan dengan situasi penuh tekanan atau tidak. lndividu akan mencapai keberhasilan jika tidak mengalami pengalaman-pengalaman yang menekan. Kondisi emosi seperti cemas, depresi, stres dan kondisi suasana hati (mood) akan mempengaruhi keyakinan efikasi. Ketika individu mengalami ketakutan dan pikiran-pikiran negatif tentang kemampuan mereka, reaksi afeksi tersebut dengan sendirinya dapat menurunkan persepsi efikasi dirinya (Pajares dan Schunk , 2000).
Semakin tinggi efikasi diri seseorang, maka semakin tinggi keyakinan untuk mampu menyelesaikan setiap tugas yang dihadapi. Jadi efikasi diri yang telah terbentuk akan mempengaruhi dan memberi fungsi pada setiap aktivitas individu. Pengaruh dan fungsi tersebut menurut Bandura (2002) antara lain:
a)    Fungsi kognitif efikasi diri yang kuat akan mempengaruhi tujuan pribadi seseorang. Semakin kuat efikasi diri, semakin tinggi tujuan yang ditetapkan oleh seseorang bagi dirinya sendiri dan memperkuat kuat komitmen terhadap tujuan tersebut.
b)   Fungsi motivasi efikasi diri berperan penting dalam pengaturan motivasi diri. Sebagian besar orang dibangkitkan secara kognitif. Seseorang memotivasi dirinya sendiri dan menunutun tindakan-tindakannya untuk menggunakan pikiran-pikiran tentang masa depan sehingga seseorang membentuk kepercayaan mengenai apa yang dapat dilakukan.
c)    Fungsi afeksi efikasi diri akan mempunyai kemampuan coping, dalam mengatasi besarnya stres dan depresi yang dialami individu pada situasi sulit dan tertekan.
d)   Fungsi selektif efikasi diri akan mempengaruhi pemilihan aktivitas atau tujuan yang akan diambil oleh seseorang. Seseorang menghidari aktivitas dan situasi yang dipercayai  telah melampaui batas kemampuan coping dirinya, namun seseorang tersebut telah siap melakukan aktivitas-aktivitas yang menantang dan memilih situasi yang dinilai mampu untuk diatasi.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa efikasi diri berpengaruh terhadap kognitif, motivasi, afeksi dan fungsi pada setiap aktivitas seseorang yang diproyeksikan kedalam prilaku, mendorong sikap optimis, pengembangan diri, motivasi berprestasi dan kekuatan menghadapi tugas.

3.    Menulis Diary Sebagai bagian Terapi Menulis
Menulis  dalam  ilmu  psikologis  bisa  menjadi  salah  satu  bentuk  terapi  dan  bisa  menjadi sebuah media untuk melaksanakan konseling atau konsultasi psikologis. Di Barat,  perkembangan  terapi  melalui  tulisan  disebut  dengan  berbagai  istilah  yaitu:  theraupetic letter   writing,   expressive   writing,   therapeutic   writing,   scriptotherapy,   dan   dikaitkan dengan  narrative  therapy  serta  Morita  therapy  (White  dan  Murray,  2002;  Soper  dan Bergen,  2001;  Felthan,  2000;  Adams,  1999;   Riordan,  1996).  Di  sisi  lain,  fenomena  perkembangan   konseling   melalui   tulisan   juga   cukup   pesat   baik   di   barat   maupun   di Indonesia   karena   secara   fleksibel   mampu   mengikuti   perkembangan   teknologi   seperti therapy  e-mail    atau   e-counseling  (Oliver  dkk,  2007;  Murphy  dan  Mitchell,  1998)  yaitu  konseling melalui korespondensi lewat email.
Terapi Menulis adalah suatu aktivitas menulis yang mencerminkan refleksi dan ekspresi klien baik itu karena inisiatif sendiri atau sugesti dari seorang terapis atau peneliti (Wright, 2004). Kathleen  Adam  (1999)  mengemukakan  berbagai  istilah  terkait  dengan  proses dalam terapi melalui menulis, yaitu antara lain:
ü  Therapeutic writing (terapi menulis): partisipasi terus menerus dan observasi perjalanan hidup  yang  telah  dialami,  trauma,  hikmah,  pertanyaan,  kekecewaan,  rasa  senang  untuk mendorong timbulnya pemahaman, insight, penerimaan dan pertumbuhan diri.
ü  Journal therapy   (terapi jurnal): katarsis dan refleksi secara mendalam dan penuh tujuan sebagai tujuan terapeutik melalui proses atau integrasi dalam menulis. Istilah jurnal dan diari  sering  dipertukarkan,  padahal  perbedaannya  adalah  jurnal  lebih  bersifat  curahan perasaan  yang  terdalam  lebih  focus  dan  lebih  reflektif  sementara  diari  bersifat  lebih dangkal dan merupakan catatan perasaan terhadap peristiwa dan kegiatan yang dilakukan sehari-hari.
ü  Chatartic writing (menulis katarsis): berfokus pada ekspresi kesadaran afeksi yang tinggi dan eksternalisasi perasaan dalam bahasa dan tulisan.
ü  Reflective   Writing   (menulis   refleksi),   meningkatkan   pengamatan   diri,   meningkatkan kesadaran  adanya  ketidaksinambungan  pikiran  dengan  tubuh, pikiran dengan perasaan atau harapan dengan hasil.

4.    Menulis Diary atau Buku harian meningkatan Efikasi diri Siswa
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Hasan, 2001) buku harian adalah buku tulis yang berisi  tentang catatan kegiatan yang dilakukan atau  kejadian yang dialami setiap hari. The  Random  House  Dictionary  of  English  Language  mendefinisikan  buku  harian  sebagai rekaman  sehari-hari  mengenai  pengalaman,  observasi  dan  sikap  dari  penulis.  The  Little Oxford Dictionary juga mendefinisikan hal serupa bahwa buku harian atau diary adalah daily record of event atau rekaman peristiwa sehari-hari (Novitasari, 2008).
Buku harian ini merupakan suatu media. Media  dalam   batasan   pendidikan   menurut   Asosiasi   Teknologi   dan   Komunikasi Pendidikan  (Association  of  Edducation  And  Communication  Technology/  AECT)  diartikan sebagai  segala  bentuk  dan  saluran  yang  digunakan  orang  untuk  menyalurkan  pesan  atau informasi (Sadiman, 2002). Menurut Hidayah (2011) media merupakan segala bentuk sarana fisik   yang   dapat   menjadi   perantara   tercapainya   suatu   tujuan   perilaku   tertentu.   Dapat disimpulkan  bahwa  pengertian  media  adalah  perantara  fisik  untuk  menyalurkan  informasi agar tercapai suatu tujuan. Menulis diary atau buku harian ini pada era modern saat ini tidak hanya ditulis dengan menggunakan buku tetapi dengan tablet, ipad, laptop ataupun gedget lainnya. Fungsi utama media yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah
Sebagai suatu cara menuangkan emosi atau perasaan positif yang dialami dan kemudian membawa pengaruh pada efikasi diri seseorang.
Berdasarkan terapi menulis (therapeutic writing) yang dijelaskan Adamas (1999) menjelaskan seseorang  yang menuliskan  perjalanan hidup  yang  telah  dialami,  trauma,  hikmah,  pertanyaan,  kekecewaan,  rasa  senang  dapat mendorong timbulnya pemahaman, insight, penerimaan dan pertumbuhan diri. Dalam teori Bandura menyebutkan salah satu cara meningkatkan efikasi diri seseorang diantaranya dengan meningkatkan emotional state atau emotional arousal. Bandura (2007) mengatakan penilaian seseorang terhadap terhadap efikasi diri dipengaruhi oleh suasana hati. Suasana hati yang positif akan meningkatkan efikasi diri sedangkan suasana hati yang buruk akan melemahkan efikasi diri.
Ketika kita mengalami suatu pengalaman emosional yang menyenangkan dan kemudian menuangkannya dalam tulisan akan memperkuat keyakinan kita bahwa kita mampu mengerjakan tugas. Suatu contoh seorang siswa yang mendapatkan kesuksesan dalam suatu hal dan kemudian menuliskan pengalaman suksesnya itu akan lebih yakin akan kemampuan yang dimilikinya, dan ini akan membawa pada pola kognitif yang kemudian berpengaruh pada motivasi dan prilaku dalam mengerjakan sesuatu. Dengan pola yang seperti ini akhirnya efikasi sesorang siswa dapat meningkat.
Karakteristik siswa dengan  Efikasi Diri yang tinggi adalah  ketika siswa tersebut merasa yakin bahwa mereka percaya pada kemampuan diri yang mereka miliki, tekun dalam menyelesaikan tugas-tugas,  memandang kesulitan sebagai tantangan bukan ancaman dan suka mencari situasi baru, menetapkan sendiri tujuan yang menantang dan meningkatkan komitmen yang kuat terhadap dirinya, menanamkan usaha yang  kuat dalam apa yang dilakuakanya dan meningkatkan usaha saat menghadapi kegagalan, berfokus pada tugas dan memikirkan strategi dalam menghadapi kesulitan, cepat memulihkan rasa mampu setelah  mengalami kegagalan.

HASIL DAN KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan:
1.    Menulis diary merupakan sarana bantu diri  meningkatkan  efikasi diri siswa.
2.    Efikasi diri siswa ditingkatkan dengan cara menggunakan suasana emosional yang positif yang dirasakan atau dialami siswa sendiri. Pengalaman emosional ini dituangkan dalam bentuk tulisan yang dapat menambah keyakinan pada dirinnya bahwa dirinya mampu. Keyakinan diri ini yang akan memupuk efikasi diri, dan efikasi diri siswa dapat meningkat.
3.    Efikasi diri diubah atau ditingkatkan dengan menggunakan proses berpikir atau pola kognitif yang awalnya ‘tidak  mampu’, ‘tidak bisa’ menjadi ‘saya bisa’, ‘saya mampu”. Pola kognitif ini yang kemudian mendorong motivasi siswa bertindak atau mengerjakan tugas atau aktivitas.

































DFTAR PUSTAKA
Albert Bandura dalam. lib.uin-malang.ac.id/thesis/chapter_ii/07410085-rizkia-nur-a.ps.

Alwisol, (2004). Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Pres

Bandura, A. (1986). Social foundations of thought and action. New Jersey: Prentice Hall.
Bandura, A. (1997). Self efficacy. The exercise of a control. New York: W. H Freeman and Company

Bandura, A., Wiedenfed, S.A., Levine, S., O’Leary, A., Brown, S., Raska, K. (1999). Impact of perceived self efficacy in coping with stressors on components of the immune system. Journal of Personality and Social Psychology, 59 (5), 1084-1094

Bolton, G. (2004). Introduction: Writing cures. Dalam G. Bolton, S. Howlett, C. Lago, & J. K. Wright (Ed.) Writing Cures: An Introductory Handbook of Writing in Counselling and Therapy (h. 1-3). New York: Brunner Routledge.

Lepore, S.J. Greenberg, M.A., Bruno, M., & Smyth, J.M., (2002). Expressive writting and health: Self-regulation of emotionrelated experience, physiology, andbehavior. Dalam Lepore & Smyth.The writing cure: How expressive writingpromotes health and emotional well being.Washington, DC: American Psychological Association press. Diunduh 13 Agustus 2008, dari http://www.faculty.tc.columbia.edu/upload/sl2201/Writing_Cure_Ch_6.pdf

Mustaqim. (2008). Psikologi Pendidikan. Pustaka Pelajar: Yogyakarta

Novitasari, E. (2008). Peranan Intensitas Menulis Buku Harian Terhadap konsep Diri Positif  Pada Remaja. Jakarta: Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.

Pajares, F & Schunk, D.H. (2000). Self belief and school success: Self efficacy. Diunduh tanggal 27 Juli 2007, dari http://www.emory.edu/EDUCATION/ mfp/PajaresShunck2000.html  

Pajares, F. (2002). Overview of social cognitive theory and self efficacy. Dipungut tanggal 30 Juli 2007, dari http://www.emory.edu/EDUCATION/ mfp/eff.html

Pennebaker,   J.W.   (1997).   Opening   up:   The   Healing   Power   of   Expressing   Emotions
(terjemahan, 2009). New York: Guilford Press.

Poerwadarminto, W. J. S. (1976). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka

Sadiman, A.S. (2002). Media Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Susilowati, T.G., Hasanat N.U., (2003). Pengaruh Terapi Menulis Pengalaman EmosionalTerhadap Penurunan Depresi pada Mahasiswa Tahun Pertama. Jurnal Psikologi. Volume 38, NO. 1

Schwarzer, R. (1998). General self efficacy in 14 culture. Diunduh tanggal 21 september 2007, dari  Http://www.yorku.ca/academics/schwarzer/selfscal.htm

White, M. (2002). Journey metaphors. The International Journal of Narrative Therapy and Community Work, No.4.

White, M. (2002). Addressing personal failure. The International Journal of Narrative Therapy and Community Work, No.3.

Widanarti, N., Indati, A. 2002. Hubungan antara Dukungan Sosial Keluarga dengan Self Eficacy pada Remaja di SMU Negeri 9 Yogyakarta.Jurnal Psikologi. 2(2):112-123.




Minggu, 05 April 2015


BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAMI SEBAGAI SALAH SATU LAYANAN MENYONGSONG PASAR BEBAS ASEAN

            Siti Nurlaila, M.Psi
Jurusan Bimbingan dan Konseling, Universitas Muhammadiyah Metro
Email: laila_mpsi@yahoo.com; Phone: 0823 7848 0000

Abstact
The modern life today with many problems which make most of people whose felt,  that most of them  often  loss controll, frustrate, and confuse. Value friction in community, from religious life was slide to materialistic life, the community that tend to hedonistic and consumptive, chase the satisfaction, ignore spiritual aspect. Beside that, the community should shift to individualistic life and weak of social controll, the experience of ritual religious  gradually  loose, neglect the worship, and worship to the technology. There some individual conflict, family, violence to the children, household violence, and social conflict was increased so that impact to divorce enhancement, the brawl between villagers which caused the small problem.
The acceleration of time change make a challenge that faced more difficult. Islamic  Guidance and counseling is a giving help proccess to person for realizing back to their existence as Alloh creature that should always consistent with provision and guidance of Alloh until achieve the happiness life in the world.

              Keyword: guidence, Islamic Counseling


ABSTRAK
            Kehidupan modern sekarang ini penuh dengan permasalahan yang cenderung membuat  kebanyakan orang  yang mengalaminya sering  lepas  kontrol, frustrasi dan hilang arah. Pergeseran  nilai yang terjadi di masyarakat, yaitu  dari kehidupan yang religius bergeser ke arah kehidupan materialistik, masyarakat cenderung hidup hedonistik dan konsumtif, mengejar kepuasan, mengabaikan aspek ruhaniyahnya. Selain itu masyarakat juga mulai bergeser ke arah hidup individualistik dan kontrol sosial lemah,  pengalaman ritual  keagamaan  mulai kendor, melalaikan  ibadah dan menyembah teknologi.  Beberapa konflik individu, keluarga, kekerasan terhadap anak,  kekerasan rumah tangga dan konflik sosial meningkat  sehingga mengakibatkan peningkatan  perceraiaan, tawuran antar warga desa yang hanya disebabkan oleh masalah kecil.
            Perubahan  zaman  yang demikian cepat itu membuat  tantangan yang dihadapi  semakin sulit. Bimbingan dan konseling Islami dibutuhkan untuk menjawab permasalah-permasalah yang ada. Bimbingan dan konseling Islami adalah  proses pemberian bantuan kepada individu agar menyadari kembali eksistensinya sebagai makhluk Allah yang seharusnya dalam kehidupan keagamaannya senantiasa selaras dengan  ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia.

Kata kunci: Bimbingan, konseling islami



PENDAHULUAN
Tahun 2015 nanti, Indonesia memasuki era pasar bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Agreement). Era itu bersamaan dengan keadaan negeri ini yang surplus demografi (tenaga kerja usia produktif melimpah). Sementara saat ini telah banyak tenaga kerja asing yang menjadi ekspatriat ke Indonesia. Adanya pasar bebas ASEAN ini tentu banyak membawa dampak dan permasalahan untuk masyarakat Indonesia. Permasalahan yang cenderung  membuat  kebanyakan orang yang mengalaminya sering lepas kontrol, frustrasi dan hilang arah. Berbagai kesenjangan, harapan-harapan dan persaingan membuat orang tidak tahu apa, mengapa, dan bagaimana seharusnya mendapatkan solusi dan berbagai penyebab permasalahan yang menimpanya. Hal ini bukan saja menghambat potensi diri tetapi membuat orang yang mengalaminya melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat modern. Permasalahan diatas hampir  terjadi di semua setting kehidupan baik itu keluarga, masyarakat maupun bangsa kita tercinta.
 Pergeseran nilai yang terjadi di masyarakat, yaitu (1)  dari  kehidupan yang religius bergeser ke arah kehidupan materialistik. Masyarakat cenderung hidup hedonistik dan konsumtif,  mengejar kepuasan,  mengabaikan aspek ruhaniyahnya. (2) masyarakat yang dahulu dikenal dengan masyarakat yang cinta kebersamaan, saling tolong menolong, sekarang bergeser ke arah hidup individualistik dan kontrol sosial lemah (3) pengalaman ritual keagamaan mulai lemah (4) konflik individu, keluarga (perceraian, kekerasan terhadap anak, kekerasaan rumah tangga), dan konflik sosial (pegaulan bebas, kasus HIV AIDS).
Dengan demikian, banyak manusia sekarang ini yang sebenarnya tidak menemukan lagi makna hidupnya.
Ada kecenderungan layanan bimbingan dan konseling selama ini lebih mendasarkan pada “data empirik” dan “pemikiran rasional” saja. Sementara itu informasi yang diyakini bersumber dari Sang Pencipta manusia itu diabaikan. Akibatnya, bimbingan yang seperti itu belum memperlihatkan hasil yang optimal. Lebih jauh lagi, pengembangan potensi manusia belum bisa dilakukan secara optimal dan penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi manusia juga kurang tuntas serta cenderung supervisial.
Konseling yang ada saat ini di Indonesia cenderung menggunakan konsep konseling yang di kembangkan di barat.  Konseling Islami belum banyak dikembangkan oleh konselor yang mengaku sebagai muslim, terkadang konselor belum atau lupa menyelipkan tema-tema konseling islami. Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis membuat suatu rumusan masalah yaitu Mengetahui dan memahami konsep konseling islami, mengetahui perbedaan bimbingan dan konseling barat dengan bimbingan  konseling islami, dan mengetahui bimbingan konseling islami sebagai layanan menyongsong pasar bebas ASEAN.

PEMBAHASAN

A.  Konsep Konseling Islami
Seminar Nasional Bimbingan Konseling I tahun 1985 mendefinisikan bimbingan konseling islami sebagai suatu proses dalam bimbingan dan konseling yang dilakukan mendasarkan pada ajaran islam, untuk membantu individu yang mempunyai masalah guna mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Subjek yang dibimbing adalah individu yang mempunyai masalah yang membutuhkan bantuan bimbingan dan konseling. Pembimbingnya adalah individu yang memiliki kewenangan (kompetensi) untuk melakukan BK islami, yaitu: konselor, psikolog, ahli pendidikan, ahli agama islam, dokter, dan pekerja sosial. Isi BK islami mencakup hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan individu yang sedang menghadapi masalah berupa kebutuan jasmani dan rohani untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Berdasarkan seminar dan lokakarya bimbingan konseling islami II tahun 1987 bahwa layanan BK islami bukan hanya mengupayakan mental yang sehat dan kehidupan sejahtera lebih dari itu juga menemukan jalan hidup menuju kehidupan yang sakinah, batin merasa senang dan tentram karena selalu dekat dengan Alloh SWT. Selain itu juga dibedakan antara pengertian bimbingan dan konseling, (a) Bimbingan Islami didefinisikan sebagai proses bantuan yang diberikan secara ikhlas kepada individu atau sekelompok individu untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Alloh SWT dan untuk menemukan serta mengembangkan potensi-potensi mereka melalui usaha mereka sendiri baik untuk kebahagiaan pribadi maupun kemaslahatan sosial. (b) Konseling islami didefinisikan sebagai proses bantuan yang berbentuk kontak pribadi antar individu atau sekelompok individu yang mendapat kesulitan dalam suatu masalah dengan seorang petugas profesional dalam hal pemecahan masalah, pengenalan diri, penyesuaian diri, dan pengarahan diri untuk mencapai realisasi diri secara optimal sesuai ajaran islam. 
Pada tahun 1994 dilakukan simposium psikologi islami dan berhasil membukukan konsep bimbingan konseling islami dengan judul “psikologi islam”, yang diterbitkan oleh Muhammadiyah University Press tahun 1994.
M. Hamdani Bakran (2001) mengatakan bahwa konseling Islami adalah suatu aktivitas memberi bimbingan, pelajaran dan pedoman kepada individu yang meminta bimbingan (klien) dalam hal bagaimana seharusnya klien dapat mengembangkan potensi akal pikirannya, kejiwaannya, keimanan dan keyakinan serta dapat menanggulangi problematika hidup dan kehidupannya dengan baik dan benar secara mandiri yang berparadigma kepada Alquran dan Assunnah Rasulullah saw.
Faqih (2001) berpendapat  konseling Islami adalah proses pemberian bantuan kepada individu agar menyadari kembali eksistensinya sebagai makhluk Alloh yang seharusnya dalam kehidupan keagamaannya senantiasa selaras dengan ketentuan dan petunjuk Alloh, sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia.  Thohari (2001) mengartikan bimbingan dan konseling Islam sebagai suatu proses pemberian bantuan terhadap individu agar menyadari kembli eksistensinya sebagai makhluk Alloh SWT yang seharusnya hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Alloh SWT, sehingga dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Berdasarkan rumusan diatas bahwa konseling islami adalah aktivitas yang bersifat “membantu” karena pada hakikatnya individu sendirilah yang perlu hidup sesuai tuntunan Alloh SWT (jalan yang lurus) agar mereka selamat. Karena posisi konselor bersifat membantu, maka konsekuensinya klien lah yang harus aktif belajar memahami dan sekaligus melaksanakan tuntunan islam (Al-Quran dan Sunah Rasul). Konseling islami juga sebagai proses pemberian bantuan terarah, kontinu, sitematis kepada setiap individu agar dapat mengembangkan potensi dan fitrah beragama yang dimiliki secara optimal dengan cara menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadist nabi ke dalam dirinya. Sehingga ia dapat hidup selaras sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an dan Hadist.
Apabila proses internalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Quran dan hadist telah tercapai dan fitrah beragama telah berkembang secara optimal maka individu tersebut dapat menciptakan hubungan baik kepada Alloh SWT, dengan manusia dan alam semesta sebagai manifestasi dari peranannya sebagai khalifah di muka bumi yang sekaligus berfungsi untuk mengabdi kepada Alloh SWT.

B.  Perbedaan Konseling Barat dan Konseling Islami
Perbedaan bimbingan dan konseling umum dengan bimbingan konseling Islami menurut Thohari Musnamar (1992) adalah:
1.    Pada umumnya di barat proses layanan bimbingan dan konseling tidak dihubungkan dengan Tuhan maupun ajaran agama. Maka layanan konseling dianggap sebagai hal yang semata-mata masalah keduniawian, sedangkan Islam menganjurkan aktifitas layanan bimbingan dan konseling itu merupakan suatu ibadah kepada Alloh SWT suatu bantuan kepada orang lain, termasuk layanan bimbingan dan konseling, dalam ajaran Islam di hitung sebagai suatu sedekah.
2.    Pada umumnya konsep layanan bimbingan dan konseling barat hanyalah didasarkan atas pikiran manusia. Semua teori bimbingan dan konseling yang ada hanyalah didasarkan atas pengalaman masa lalu sedangkan konsep bimbingan dan konseling islami berdasarkan  Al-Qur’an dan Assunah, aktivitas akal dan pengalaman manusia.
3.    Konsep layanan bimbingan dan konseling Barat  tidak membahas masalah kehidupan sesudah mati. Sedangkan konsep layanan bimbingan dan konseling Islam meyakini adanya kehidupan sesudah mati.
4.    Konsep layanan bimbingan dan konseling Barat tidak membahas dan mengaitkan diri dengan pahala dan dosa. Sedangkan menurut bimbingan dan konseling Islam membahas pahala dan dosa yang telah dikerjakan.

Pendapat lain menjelaskan, Corey (1996:90-444) menunjukkan ada sembilan pendekatan dalam konseling, yaitu: Psikoanalitik, Adlerian, Eksistensial, Person-Centered, Gestalt, Reality, Behavior, Cognitive-behavior dan, Family sistems. Masing- masing pendekatan tersebut di bangun atas konsep dasar tentang “hakikat manusia” yang di yakini kebenarannya oleh masing-masing aliran, tetapi ternyata sejumlah konsep dasar tersebut di nilai oleh Corey (1982) dan juga oleh para ahli di Indonesia seperti M.D. Dahlan (1988), dan Djamaludin Ancok (1994) mengandung sejumlah kekurangan yang perlu disempurnakan.
Aliran Psikoanalitik dinilai oleh Corey (1982:12), M.D. Dahlan (1988:15, 2005: 20) terlalu pesimistik, deterministik, dan reduksionistik. Segala perilaku manusia, bahkan perilaku religius hanya di pandang sebagai sublimasi dari dorongan –dorongan yang tidak di sadari. Djmaludin Ancok (1994: 67) menilai aliran ini terlalu menyederhanakan kompleksitas dorongan hidup yang ada dalam diri manusia, teori ini tidak mampu menjelaskan tentang dorongan yang dimiliki orang muslim untuk mendapatkan ridho Alloh SWT. Di samping itu, teori ini dinilai terlalu menekankan pengaruh masa lalu (masa kecil) terhadap perjalanan hidup manusia, dan terlalu pesimisme dalam setiap upaya pengembangan diri manusia.
Aliran Behaviorisme dinilai oleh MD. Dahlan (1988: 16, 2005:21) terlalu deterministik yang memandang manusia tidak lebih sebagai “hewan sirkus” yang dapat dilatih sesuai kehendak pelatihnya, aliran ini dinilai terlalu berani meng-analogikakan periaku dan hakikat manusia dengan dunia hewan seperti anjing, kucing, dan kera yang hasil uji cabanya langsung bisa diterapkan dalam memperlakukan manusia. Djamaludin Ancok (1994: 66) menilai aliran ini memberi penekanan yang terlalu berlebih pada aspek stimulasi lingkungan dalam  mengembangkan manusia, kurang menghargai faktor bakat atau potensi alami manusia, dan kurang menghargai adanya perbedaan individual, sementara perbedaan individual adalah suatu kenyataan. Di samping itu, aliran ini dinilai cenderung mereduksi manusia, manusia di pandang tidak memiliki jiwa, tak memiliki kemauan dan kebebasan untuk menentukan tingkah lakunya sendiri. Aliran ini juga di niali tidak mampu menjelaskan perilaku manusia yang mengabdi kepada Tuhannya dengan tulus ikhlas dan penuh kepasrahan.
Aliran Humanistik dinilai oleh Djamaludin Ancok (1994: 69) terlalu optimistik terhadap upaya pengembangan sumber daya manusia, sehingga manusia di pandang sebagai penentu tunggal yang mampu melakukan “play-God” (peran Tuhan). M.D Dahlan (2005: 22) menilai aliran ini terlalu mendewa-dewakan manusia, terlalu optimis, dan penuh harapan terhadap kemampuan manusia, manusia di pandang memilili kemampuan berbuat sendiri di bumi ini dan menentukn tujuannya sendiri. Jika seorang pembimbing mengikuti aliran ini di ibaratkan sebagai membiarkan seorang anak berjalan sendiri dalam kegelapan malam, pembimbing tidak terlalu memberi arah yang jelas kepada konseli (klien), dan membiarkannya mencari jalan sendiri.
Berdasarkan uraian diatas, teori-teori bimbingan dan konseling yang selama ini dikembangkan dengan lebih mendasarkan pada acuan “filsafat” dan “sains” sehingga wajar kalau hasilnya banyak menunjukkan kecenderungan ke spekulatif dan tentatif (belum tentu, sementara waktu, dan masih bisa berubah). Oleh sebab itu wajar pula bila ada sementara ahli yang menilai bahwa hasil bimbingan selama ini baru bersifat “supervisial”, “kulit luarnya saja”, atau “tidak tuntas” (MD. Dahlan, 1998:25).
Mencermati keterbatasan aliran-aliran psikologi seperti di sajikan di atas, maka para ahli bimbingan dan psikologi menyempurnakan dengan menjadikan ajaran agama sebagai “acuan”. Bahkan, secara tegas MD. Dahlan (2005:16) menyarankan agar nilai-nilai agama menjadi landasan dalam merumuskan alternatif bimbingan dan konseling di era globalisasi.
Konseling dalam kehidupan muslim sudah ada sejak zaman Nabi Adam dan nabi-nabi setelahnya, mereka mendapat amanah dari Alloh sebagai salah satu dari berbagai tugas manusia adalah membina dan membentuk manusia yang ideal sesuai dengan fitrahnya, mengarah kepada sesuatu yang bermanfaat dan melarang dari sesuatu yang membahayakan mereka sesuai tuntutan Alloh SWT (QS Al-Fath: 8-9).
Menurut penulis, konsep teori-teori Bimbingan dan Konseling Barat yang telah ada ini tidak perlu dirombak total, namun kita sebagai seorang konselor harus memiliki sikap kritis dan selektif dan jika ada hal-hal yang dianggap kurang cocok cukup kita ubah dan sesuaikan dengan pandangan-pandangan dan ideal Islam saja.
C.  Bimbingan Konseling Islami Sebagai Layanan Menyongsong Pasar Bebas Asean
Pasar bebas ASEAN berlangsung di semua bidang kehidupan, seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan, dan lain-lain. Kehadirannya  membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Misalnya masyarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya yang cenderung meniru Budaya Barat. Selain itu juga mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam, antara yang kaya dan miskin, munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antar perilaku sesama warga. Masyarakat merasa dimudahkan dengan tekhnologi maju membuat mereka merasa tidak lagi membutuhkan orang lain dalam beraktivitasnya. Mereka lupa sebagai makhluk sosial. Pengaruh globalisasi yang begitu kuat mengakibatkan dimunculkan gejala-gejala yang muncul seperti cara berpakaian remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke Budaya Barat, gaya rambut yang di cat beraneka warna. Anak muda yang tingkah lakunya tidak mengenal sopan santun dan cenderung cuek tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Banyaknya pengaruh negatif pasar bebas itu, diperlukan langkah untuk mengatasinya terhadap pengarh negatif tersebut.
Ketika membicarakan perilaku manusia kita juga membicarakan masalah mental atau mindset. Sikap mental yang kuat dan konsisten serta mampu mengeksplorasi diri adalah salah satu bentuk konkrit dari fitrah manusia. Amin (2013) mengatakan secara psikologis eksistensi manusia, atau fitrah manusia mempunyai dua kecenderungan, sebagai aspek manusiawi;
a) kecenderungan untuk bertahan diri dan mengembangkan diri, dan
b) kecenderungan untuk memenuhi kebutuhan atau melengkapi diri.
Kedua kecenderungan tersebut bersifat saling melengkapi yang satu tidak mungkin ada tanpa yang lain, keseimbangan harmonis antara keduanya dalam diri manusia.
Bimbingan dan konseling oleh masyarakat di negara maju telah dipandang menjadi bagian yang penting, bahkan justru manfaatnya sangat berpengaruh bagi kemajuan masyarakatnya. Hal tersebut memang wajar karena pelaksanaan bimbingan dan konseling dikalangan masyarakat modern diarahkan pada pemberian bantuan dalam pemecahan problem yang dihadapi anak didik secara individual yang menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia terutama akibat pengaruh faktor-faktor dari luar terhadap kemajuan itu sendiri.
Problematika kehidupan masyarakat semakin maju budaya dan teknologinya semakin kompleks permasalahan yang dihadapi. Baik problematika yang menyangkut fisik maupun problematika yang menyangkut masalah psikis. Problematika kehidupan tersebut sangat membutuhkan pemecahan yang dapat dilakukan oleh tenaga pembimbing dan konselor.
Semakin maju suatu masyarakat semakin banyak tuntutan hidup yang harus dipenuhi dan semakin kompleks hidup kejiwaan anggota masyarakat itu. Hal ini berarti makin banyak memerlukan bimbingan dan konseling yang semakin luas dan mendalam. Oleh karena itu, bimbingan konseling bertugas membantu meringankan beban yang menekan psikologis akibat kondisi dan situasi seperti pasar bebas yang akan berlangsung. Pendekatan keagamaan (religius approuch) merupakan solusi untuk memecahkan permasalahan kehidupan masyarakat, apalagi masyarakat modern yang memiliki peluang permasalahan yang sangat kompleks.
Bimbingan dan konseling islam membentuk kompetensi utama ciri khas konseling dalam prespektif agama. Pada umumnya berdasarkan tujuannya, bimbingan konseling islam tidak memiliki perbedaan dengan bimbingan konseling, yaitu sama-sama ingin membantu sesama manusia agar keluar dari berbagai kesulitannya dengan kekuatannya sendiri. Perbedaan yang mendasar terletak dalam dasar yang mewarnainnya yaitu bimbingan dan konseling islam senantiasa mengaitkan dengan asas agama Islam. Konsep bimbingan dan konseling bersandar kepada kemutlakaan kuasa Alloh dan kemaksimalan usaha manusia.
Ciri khas bimbingan konseling islam inilah yang akan menjadi titik pembeda dengan bimbingan konseling lainnya (psikologis dan pendidikan) dan tidak mengenyampingkan teori dari bimbingan konseling umum yang telah terlebih dahulu berkembang. Dikembangkannya tipe dan model bimbingan dan konseling Islam juga akan mengokohkan Bimbingan Konseling islam ditengah masyarakat yang memiliki ‘religiusitas’ yang tinggi dengan segudang problematika yang bertumpuk. Dalam bimbingan konseling islami hakikatnya adalah membantu individu belajar mengembangkan fitrah iman dan atau kembali kepada fitrah iman dengan cara memberdayakan (empowering) fitrah-fitrah ( jasmani, rohani, nafs, dan iman) mempelajari dan melaksanakan tuntunan Allah dan Rasulnya agar fitrah-fitrah yang ada pada individu berkembang dan berfungsi dengan baik dan benar. Pada akhirnya diharapkan agar individu selamat dan memperoleh kebahagiaan yang sejati dunia akhirat. Selain itu, mengembangkan fitrah yang dikaruniai Allah agar dapat berkembang dan berfungsi dengan baik sehingga menjadi pribadi yang kaffah dan secara bertahap mampu mengaktualisasikan apa yang diimaninya itu dalam kehidupan sehari-hari.


KESIMPULAN
  1. Adanya pasar bebas Asean akan membawa banyak dampak dan perubahan untuk masyarakat Indonesia.
  2. Konsep bimbingan konseling islami adalah konseling islami adalah aktivitas yang bersifat “membantu” karena pada hakikatnya individu sendirilah yang perlu hidup sesuai tuntunan Alloh SWT (jalan yang lurus) agar mereka selamat.
  3. Perbedaan yang mendasar antara bimbingan konseling islam dan bimbingan konseling lainnya terletak dalam dasar yang mewarnainnya yaitu bimbingan dan konseling islam senantiasa mengaitkan dengan asas agama Islam. Konsep bimbingan dan konseling islami juga bersandar kepada kemutlakaan kuasa Alloh dan kemaksimalan usaha manusia.
  4. Konseling Islami ditawarkan sebagai salah satu layanan untuk menyongsong pasar bebas Asean.





Daftar Pustaka

Amin Samsul Munir. 2013. Bimbingan dan Konseling Islam, Jakarta; Amzah.

Fakih Ainur Rahim. 2001. Bimingan dan konseling dalam Islam, Jogjakarta;UII Pres.

Hamdani Bakran Adz-Dzaky, Konseling dan Psikoterapi Islam, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru 2001, hal. 189-190

Prayitno dan Erman Amti, Dasar-Dasar Bimbingan dan konseling, Jakarta: Rineka Cipta. 2004, hal 135

Sutoyo Anwar. 2013. Bimbingan dan Konseling Islami (Teori dan Praktik), Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Thoha Musnamar, Dasar-dasar konseptual Bimbingan dan Konseling Islami, Yogyakarta: UII Press. 1992, hal 9

W.S. Winkel, 2004. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.